Selasa, Juni 30, 2009

Kebijakan Pendidikan

KEBIJAKAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

Oleh :

SRI WAHYUNI

A. Pendahuluan

Menyadari akan pentingnya pendidikan yang berkualitas bagi bangsa Indonesia, pemerintah terus melakukan upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI). Penyelengaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat (3), yakni “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional”. Penyelengaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing bangsa Indonesia di forum internasional. Dan agar penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) ini dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, Departemen Pendidikan Nasional juga telah menetapkan ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”.

Disamping diamanatkan dalam UU Sisdiknas, dasar penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) juga berlandaskan pada ketentuan lainnya sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 mengatur perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 61 Ayat (1) menyatakan bahwa: Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.

3. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Respon masyarakat terhadap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga pendidikan yang mengajukan proposal untuk dapat menyelengarakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), dan banyaknya siswa didik yang berminat mendaftar di SBI yang telah ada. Menurut Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional (Kompas, 10 Juni 2009), saat ini telah terdapat sekitar 1.000 rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan di Indonesia. Meski demikian keberadaan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini banyak pula menuai kritik baik dari banyak pihak.

B. Konsepsi dan Penjaminan Mutu Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), seperti dijelaskan dalam Kebijakan Depdiknas Tahun 2007 Tentang “Pedoman Penjamin Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”, merupakan sekolah/madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Pada prinsipnya, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) harus bisa memberikan jaminan mutu pendidikan dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Nasional Pendidikan.

Esensi dari rumusan konsepsi Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) tersebut bisa dijabarkan dengan SNP+X. SNP memiliki makna Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan yaitu Sekolah/Madrasah yang sudah melaksanakan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Dan X (OECD) memiliki makna “diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan”. Adapun prosesnya dapat dilaksanakan melalui dua cara sebagai berikut:

a. Adaptasi yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan

b. Adopsi yaitu penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

OECD merupakan organisasi internasional untuk membantu pemerintahan negara-negara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. OECD berlokasi di Paris Perancis. Secara historis, Konvensi OECD pada awalnya ditandatangani hanya oleh beberapa negara pada tanggal 14 Desember 1960. Sejak saat itu sampai sekarang ini sebanyak 30 negara telah menjadi anggota dan telah menyerahkan instrumen ratifikasi ke OECD, yaitu: Australia: 7 June 1971; Austria: 29 September 1961; Belgium: 13 September 1961; Canada: 10 April 1961; Czech Republic: 21 December 1995; Denmark: 30 May 1961; Finland: 28 January 1969; France: 7 August 1961; Germany: 27 September 1961; Greece: 27 September 1961; Hungary: 7 May 1996; Iceland: 5 June 1961; Ireland: 17 August 1961; Italy: 29 March 1962; Japan: 28 April 1964; Korea: 12 December 1996; Luxembourg: 7 December 1961; Mexico: 18 May 1994; Netherlands: 13 November 1961; New Zealand: 29 May 1973; Norway: 4 July 1961; Poland: 22 November 1996; Portugal: 4 August 1961; Slovak Republic: 14 December 2000; Spain: 3 August 1961; Sweden: 28 September 1961; Switzerland: 28 September 1961; Turkey: 2 August 1961; United Kingdom: 2 May 1961; United States: 12 April 1961. Dalam bulan Mei 2007, negara-negara anggota OECD menyetujui untuk mengundang Chile, Estonia, Israel, Russia dan Slovenia guna mendiskusikan kemungkinan menjadi negara anggota. Hal yang sama juga ditawarkan untuk memperluas kemungkinan keanggotaan kepada Brazil, China, India, Indonesia, dan South Africa.

Daya saing di forum internasional, seperti dijelaskan dalam Kebijakan Depdagri Tahun 2007 tersebut, memiliki makna bahwa siswa dan lulusan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) antara lain dapat: (a) melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri; (b) mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga; dan (d) bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain.

Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) juga diarahkan agar memiliki karakteristik keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek. Pengakuan internasional ditandai dengan penggunaan standar pendidikan internasional dan dibuktikan dengan hasil sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

Agar penyelenggara Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) memiliki persepsi yang sama terhadap mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) serta dapat menjabarkannya secara operasional di lapangan, Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan standar penjaminan mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) dalam tabel di bawah ini :

Tabel Ikhtisar Penjaminan Mutu

Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI)

No

Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)

Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)

I

Akreditasi

Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah

Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan

II

Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan

Menerapkan KTSP

Sekolah telah menerapkan system administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.

Memenuhi Standar Isi

Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.

Memenuhi SKL

Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP


Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

III

Proses Pembelajaran

Memenuhi Standar Proses

· Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator

· Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.

· Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel

· Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.

IV

Penilaian

Memenuhi Standar Penilai-an

Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan system/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.

V

Pendidik

Memenuhi Standar Pen-didik

· Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris

· Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK

· Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

VI

Tenaga Kependidikan

Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan

Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah

Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif

Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat

VII

Sarana Prasarana

Memenuhi Standar Sarana Prasarana

Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK

Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia

Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.

VIII

Pengelolaan

Memenuhi Standar Penge-lolaan

Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000

Merupakan sekolah multi kultural

Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri

Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain

Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah

IX

Pembiayaan

Memenuhi Standar Pem-biayaan

Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan

C. Kritik terhadap Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.

Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI) dibiayai oleh Pemerintah Pusat sebesar 50%, Pemerintah Propinsi sebesar 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 20%. Untuk setiap sekolah rintisan SBI, Pemerintah Pusat memberikan subsidi dana antara Rp. 250 juta hingga Rp. 300 juta rupiah setiap tahun. Jumlah yang diterima berbeda setiap sekolah sesuai kriteria yang ditetapkan pemerintah. Namun, sekolah rintisan nantinya harus berkembang menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dengan kondisi yang ada, pemerintah juga mengizinkan sekolah-sekolah itu menerapkan iuran sekolah.

Sejak kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) digulirkan, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.

Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tersebut, yaitu :

1. Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif, Eksklusif.

Seleksi penerimaan yang ketat dan terbatas serta adanya kewenangan lembaga penyelenggara Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menarik iuran dari siswa, hanya akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif dan ekslusif. Berbagai macam fasilitas dan kesempatan yang ada di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seolah-olah hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecerdasan unggul dan kemampuan ekonomi yang baik. Seharusnya setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan dan fasilitas pendidikan yang sama dan merata.

2. Potensi terjadi kesenjangan antara lembaga pendidikan

Adanya berbagai subsidi dan bantuan berbagai macam fasilitas dari pemerintah yang diterima Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) juga akan berpotensi menciptakan kesenjangan dengan sekolah-sekolah bukan bertaraf internasional. Kewenangan yang diberikan pemerintah terhadap Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk menarik iuran siswa bertolak belakang dengan kewajiban sekolah-sekolah bukan bertaraf internasional untuk menyelenggarakan sekolah gratis. Ini juga akan menambah tingkat kesenjangan. Apalagi saat ini sebagian besar kondisi infrastruktur dan fasilitasnya sekolah-sekolah yang ada di Indonesia sangat memperihatikan.

3. Potensi terjadi komersialisasi pendidikan

Kewenangan yang diberikan pemerintah pada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk menarik iuran siswa juga berpotensi melahirkan komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah bertaraf internasional membutuhakan kelengkapan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.

4. Konsep SNP+X kurang jelas

Faktor X dalam rumusan konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SNP+X) tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam. Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga ini bias saja hanya merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.

5. Tujuan pendidikan yang misleading

Selama ini siswa Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.

Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.

6. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.

Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar (2006) menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.

7. Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.

8. Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar (2006), MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.

D. Kesimpulan dan Saran

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.

Upaya pemerintah menyelenggarakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tersebut merupakan upaya yang mulia dan patut mendapat apresiasi kita semua. Dan tentunya tidak ada satu pun warga bangsa yang tidak berkeinginan agar pendidikan nasional kita mengalami kemajuan dan sejajar dengan pendidikan di negara-negara maju lainnya. Akan tetapi sebagai sebuah produk kebijakan yang relatif baru, Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tentunya tidak lepas dari berbagai macam kelemahan. Dalam perjalanannya kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tampak mulai terlihat berbagai kelemahan, baik secara konseptual maupun sistem pembelajarannya. Untuk itu perlu kiranya pemerintah mengkaji dan mengevaluasi kembali konsep Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang sedang berjalan ini agar dilakukan perbaikan-perbaikan.

Beberapa hal berikut dibawah ini merupakan sumbang saran bagi evaluasi dan perbaikan kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional di masa yang akan datang.

Pertama, Konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seharusnya merupakan konsep yang terintegrasi secara gradual dengan konsep Sistem Pendidikan Nasional kita. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) seharusnya bukan merupakan konsep yang terpisah, bahkan ada indikasi bertolak belakang dari Sistem Pendidikan Nasional yang sedang kita jalani. Berbagai macam potensi negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan Sekolah Bertaraf Intenasional (SBI) seperti potensi diskriminatif, eksklusif, komersialisasi dan kesenjangan antar lembaga pendidikan, karena konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan konsepsi tersendiri dan terpisah dengan konsep Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan yang diterapkan dalam Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) banyak yang bertolak belakang dengan kebijakan yang diterapkan pada Sekolah bukan Bertaraf Internasional, seperti kebijakan kewenangan menarik iuran siswa dengan kebijakan sekolah gratis, dan juga adanya kesenjangan pemberian subsidi dan fasilitas yang diberikan kepada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Sekolah bukan Bertaraf Internasional. Seharusnya keinginan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar sejajar dengan negara-negara maju berlaku untuk semua sekolah dan jenjang sekolah yang ada, bukan hanya pada sekolah tertentu saja. Semua ini bisa tercapai bila konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan konsepsi yang terintegrasi secara gradual dengan konseps Sistem Pendidikan Nasional kita.

Kedua, Faktor X dalam rumusan konsepsi Sekolah Bertaraf Inetrnasional (SBI) diperjelas dan bukan merupakan konsep pilihan penyelenggara Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pemerintah harus mampu merumuskan sendiri faktor X dalam rumusan konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang menjadi arah dan target bagi penyelenggara Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Rumusan faktor X yang disusun pemerintah sendiri dalam konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) bukan hanya menjadikan sekolah-sekolah kita sejajar dengan sekolah-sekolah di negara maju, tetapi juga sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Rumusan faktor X yang disusun pemerintah sendiri dalam konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) juga mempermudah pengukuran terhadap keberhasilan penyelenggara sekolah dalam menyelenggarakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Ketiga, Faktor X dalam rumusan konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang disusun sendiri oleh pemerintah juga merupakan bagian yang terintegrasi secara gradual dengan Sistem Pendidikan Nasional kita. Faktor X ini juga menjadi arah dan target untuk semua sekolah dan jenjang sekolah yang ada di Indonesia, bukan hanya pada sekolah yang dipilih sebagai Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Faktor X dalam rumusan SBI yang disusun sendiri pemerintah kita ini akan menjadi kiblat semua sekolah dan jenjang sekolah yang ada. Hal Ini akan menghapus kesulitan penyelenggara sekolah khususnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang selama ini mempunyai dua kiblat, yakni kiblat ujian UNAS dan Cambridge misalnya.

Keempat, Hal-hal yang terkandung dalam konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang belum selaras dengan konsepsi Sistem Pendidikan Nasional kita seperti kebijakan Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah dan kebijakan lainnya harus diselaraskan.

Dan yang terakhir, yang harus kita lakukan terhadap Sistem Pendidikan Nasional kita bukan hanya meniru pada apa yang negara-negara maju lakukan terhadap Sistem Pendidikan Nasional mereka, tetapi yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita melakukan dengan apa yang kita punya untuk menghasilkan lulusan sekolah-sekolah kita sejajar dan lebih baik dari lulusan sekolah-sekolah negara lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS

Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.

http/www.satriadharma.wordpress.com

Senin, Juni 29, 2009

Pemberdayaan

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN

MELALUI MODEL COMMUNITY BASED

Oleh :

SRI WAHYUNI

I. PENDAHULUAN

Kesejahteraan anak menjadi bagian penting dari pembangunan kesejahteraan sosial. Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan sejak awal agar tujuan anak sebagai pemilik era masa datang dapat tercapai. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari legalitas tingkat global sampai tingkat nasional. Bahkan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Rativikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990, telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya, yang bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan dan perlindungan anak seoptimal mungkin. Implikasinya adalah berbagai elemen seperti LSM, Orsos, Dunia Usaha dan pemerintah berupaya merealisasikannya dalam berbagai kegiatan. Pemerintah melakukan berbagai aksi, juga memfasilitasi pembentukan Komite Aksi Nasional, Gugus Tugas, Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak di daerah yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan dan elemen masyarakat. Departemen Sosial melalui Direktorat Pelayanan Sosial Anak yang telah lama dan berpengalaman dalam membina dan memfasilitasi pelayanan sosial anak baik dalam maupun luar panti, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak kalah gencarnya dengan kegiatan lembaga non pemerintahan lainnya.

Pada kenyataannya, kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah anak terlantar, termasuk anak jalanan cenderung semakin meningkat, seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi. Berdasarkan data Pusdatin (2006) menunjukkan jumlah anak terlantar sebanyak 2.815.383 anak. Permasalahan anak tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia, terutama masalah kemiskinan (Kurniasari, 2006).

Data berikut memberikan gambaran bagaimana masih buramnya dunia anak Indonesia. Berdasarkan hasil survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI), kondisi kesehatan dan gizi adalah; (a) angka kematian bayi, tahun 2002/2003 sebesar 35/1000, atau terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000 bayi yang dilahirkan, atau berarti setiap hari ada 430 kematian bayi di Indonesia; (b) kematian balita, sebesar 46/1000 atau setiap hari ada 566 kematian balita; (c) status gizi, pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus kwasiorkor). Jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk tersebut mencapai 286 anak. Dalam sektor pendidikan; (a) angka partisipasi sekolah, tahun 2004 untuk anak usia 13 – 15 tahun sebesar 83,4% sedang untuk anak usia 16 – 18 tahun sebesar 53,4% (c) angka melanjutkan sekolah, tahun 2005/2006 mencatat hanya 72,5% anak yang melanjutkan ke tingkat SLTP.

Aspek perlindungan anak lebih memperihatikan lagi, (a) anak tanpa akte kelahiran, berdasarkan hasil susenas 2001 mencapai angka 60%; (b) anak korban kekerasan dan perlakuan salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 326 kasus; (c) anak yang berkonflik dengan hukum, setiap tahun lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan anak usia dibawah 16 tahun. (d) tahun 2002 terdapat 3.722 anak yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Lebih mengerikan lagi, data di Badan Narkotika Nasional menyebutkan anak korban penyalahgunaan narkoba, 70% dari 4 juta pengguna narkoba adalah usia 4-20 tahun atau sekitar 4% dari seluruh jumlah pelajar yang ada. Sedang kasus AIDS/HIV, hingga desember 2005 terdapat 4.243 kasus HIV, dan 5.320 AIDS. Dari jumlah tersebut 438 kasus terjadi pada anak usia 0-19 tahun. Sementara korban eksploitasi kerja, trafficking, pelacuran anak, dan anak-anak di pengungsian belum tersedia data yang memadai. Tetapi diyakini memiliki jumlah yang tidak sedikit.

Salah satu permasalahan anak yang semakin cenderung meningkat jumlahnya adalah anak jalanan. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu seperti kemiskinan dan kesulitan ekonomi keluarga, ketidakharmonisan keluarga, baik karena adanya perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, kekerasan fisik dan emosi terhadap anak oleh keluarga atau lingkungan, juga karena absennya orang tua baik karena meninggal dunia maupun karena tidak bisa menjalankan fungsinya.

Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan.

Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan alienatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang.

Persoalan yang kemudian muncul pada anak jalanan adalah pada umumnya mereka berada pada usia sekolah, usia produktif, mereka mempunyai kesempatan yang sama seperti anak-anak yang lain, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, tetapi disisi lain mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan mencari penghidupan dijalanan. Kehidupan anak jalanan juga sangat rentan dengan pelecehan seksual, pelacuran, hubungan seks bebas, pemakaian obat-obatan dan minum-minuman keras.

Dari permasalahan tersebut, dibawah ini akan dibahas mengenai Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Model Community Based. Model Community Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada penguatan fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Strateginya adalah mengembalikan anak jalanan kepada keluarganya dan juga mencegah anak-anak menjadi anak jalanan. Anak yang menjadi sasaran adalah anak yang masih berhubungan atau tinggal dengan keluarga.

II. PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ANAK JALANAN

Banyak istilah yang ditunjukan kepada anak jalanan seperti anak pasar, anak tukang semir, anak lampu merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen dan sebagainya. Menurut Lusk dalam Haryanto (2007), yang dimaksud anak jalanan adalah “...any girl or boy...for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc.) has become his or her habitual abode and/or source of livelihood; and who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible adults. […setiap anak perempuan atau laki-laki…yang memanfaatkan jalanan (dalam pandangan yang luas ditulis, meliputi tidak punya tempat tinggal, tinggal di tanah kosong dan lain sebagainya) menjadi tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan; dan tidak dilindungi, diawasi atau diatur oleh orang dewasa yang bertanggung jawab].

Definisi anak jalanan yang disusun peserta lokakarya nasional anak jalanan Departemen Sosial RI bulan Oktober 1995, yang dimaksud Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya”. Usia anak jalanan berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil mudah terpengaruh dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi mereka biasanya dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai dengan 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama teman-temannya.

Jenis pekerjaan anak jalanan sangat bervariasi, seperti pengamen, penyemir sepatu, pemulung, kernet, pencuci kaca mobil, pekerja seks, pengemis, dan sebagainya. Tetapi semuanya adalah pekerjaan informal dengan upah ala kadarnya, bergantung kepada si pemberi/pemakai jasa. Survei yang dilakukan UPPM-STIS di wilayah DKI Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari 50 % anak jalanan melakukan pekerjaan sebagai pengamen. Dibawah ini menunjukan jenis pekerjaan anak jalanan berdasarkan survey fenomena anak jalanan di DKI Jakarta Triwulan IV tahun 2001 oleh UPPM-STIS.

Tabel. Jenis Pekerjaan Anak Jalanan di DKI Jakarta 2001

Jenis Pekerjaan

Prosentase Jumlah

Mengamen

Mengasong

Mengemis

Lainnya

50.1

27.46

12.50

9.91

Sumber : Survey UPPM-STIS

Berdasarkan kegiatan pendidikan ternyata banyak juga anak jalanan yang berstatus masih bersekolah. Hasil survey fenomena anak jalanan di DKI Jakarta Triwulan IV tahun 2001 oleh UPPM-STIS menunjukkan bahwa 35,91% anak jalanan masih berstatus sebagai anak sekolah. Selanjutnya mereka yang sudah tidak sekolah lagi tercatat ada sebanyak 44,33% sedang yang masih punya keinginan sekolah tetapi tidak mampu sebanyak 15,71% dari total seluruh anak jalanan di DKI Jakarta.

B. FAKTOR PENYEBAB

Kehidupan rumah tangga asal anak jalanan merupakan salah satu faktor pendorong penting yang menyebabkan anak-anak memilih hidup di jalanan. Fakor kesulitan ekonomi dan kemiskinan akibat krisis ekonomi yang dialami keluarga berdampak negatif pada anak-anaknya dengan disuruhnya anak-anaknya ikut bekerja untuk membantu mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga dan diri anak itu sendiri.. Faktor lain yang menjadi alasan anak untuk menjadi anak jalanan diantaranya adalah adanya ketidakharmonisan keluarga, baik karena adanya perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, kekerasan fisik dan emosi terhadap anak, juga karena absennya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya.

Survei yang dilakukan UPPM-STIS di wilayah DKI Jakarta tahun 2001 menunjukkan bahwa penyebab alasan menjadi anak jalanan karena faktor kemiskinan (korban eksploitasi anak) sebesar 44,95%, tidak mempunyai tempat tinggal sebesar 18,67% dan disebabkan oleh keluarga tidak harmonis sebesar 12,69%.

Dari data tersebut diatas tampak bahwa faktor penyebab menjadi anak jalanan yang terbesar adalah karena faktor kemiskinan (korban eksploitasi anak) sebesar 44,95%, sehingga model community based menjadi model yang tepat sebagai upaya penanganan anak jalanan. Dengan model ini fungsi-fungsi rumah tangga dipulihkan dan diberdayakan.

C. MODEL PENANGANAN ANAK JALANAN

Anak jalanan dikelompokkan menjadi 3 tipologi yaitu anak yang bekerja di jalan untuk membantu keluarganya (children on the street), anak yang hidup kesehariannya di jalan (children of the street), dan anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk). Ketiga tipologi anak jalanan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga model penanganannya juga berbeda (Haryanto, 2007).

Menurut Departemen Sosial RI (1995), ada 3 model penanganan anak jalanan yaitu street based (penanganan berbasis jalanan), center based (penanganan anak jalanan terpusat) dan community based (penanganan anak jalanan berbasis komunitas). Masing-masing model ini memiliki kelemahan dan kelebihan tertentu.

Street based adalah kegiatan di jalan, tempat dimana anak-anak jalanan beroperasi. Pekerja sosial datang mengunjungi, menciptakan perkawanan, mendampingi dan menjadi sahabat untuk keluh kesah mereka. Anak-anak yang sudah tidak teratur berhubungan dengan keluarga, memperoleh kakak atau orang tua pengganti dengan adanya pekerja sosial.

Center based yaitu kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah putus dengan keluarga. Panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk anak dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, ketrampilan waktu luang, makan, tempat tinggal, pekerjaan dan lain sebagainya. Center based merupakan model yang telah banyak di laksanakan saat ini di masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Tugas dan tanggungjawab panti sosial mencakup empat kategori yaitu (1) mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang masalah dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin, (2) rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab terhadap diri dan keluarganya; dan meningkatkan kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung kemandiriannya di masyarakat, (3) mengembalikan masyarakat melalui penyiapan sosial; penyiapan masyarakat agar mengerti dan mau menerima kehadiran kembali mereka; dan membantu penyaluran mereka ke pelbagai sektor kerja dan usaha produktif, (4) melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong peningkatan taraf kesejahteraan pribadinya; meningkatkan rasa tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat; mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psiko-sosial dari keluarganya.

Gambaran tanggungjawab dan fungsi panti-panti sosial di atas jelas sangat strategis. Namun, hal-hal tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dengan baik jika seluruh komponen yang terlibat dalam managemen panti, sumber daya profesional yang ada di dalamnya, sarana dan prasarananya, serta teknologi yang dimilikinya sudah sesuai dengan tingkat kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.

Community based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhir adalah anak tidak menjadi anak jalanan dan mereka tetap berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya.

Model penanganan Open house (rumah singgah/rumah terbuka) mulai berkembang akhir-akhir ini di berbagai negara untuk melengkapi pendekatan yang sudah ada, termasuk di Indonesia. Model open house memperkuat ketiga pendekatan diatas (community based, street based, dan centre based). Jika ditempatkan di wilayah yang dekat dengan banyak anak jalanan, dapat dipandang sebagai street based yang menjadi pusat kegiatan anak jalanan. Jika di suatu wilayah dimana banyak anak warga tersebut menjadi anak jalanan, dapat dipandang sebagai pusat kegiatan pula atau pintu masuk menangani anak jalanan dengan melibatkan warga masyarakat. Rumah singgah yang umumnya berupa rumah yang dikontrak juga dipandang sebagai panti (centre) baik untuk berlindung maupun sebagai pusat kegiatan.

Sehubungan dengan masalah anak jalanan, Lusk (dalam Depsos, 2001:11) mengemukakan empat pendekatan atau strategi dalam mengintervensi kasus anak jalanan:

a. Pendekatan koreksional (corectional)

Fenomena anak jalanan dalam pandangan ini didominasi oleh pemikiran sebagian besar polisi dan pengadilan anak yang memang banyak berurusan dengan anak-anak jalanan. Pemikiran inilah yang mempengaruhi pandangan masyarakat untuk melihat anak jalanan sebagai perilaku kenakalan. Sebab itu intervensi yang cocok adalah dengan memindahkan anak dari jalanan dan memperbaiki perilaku mereka. Pendekatan ini menempatkan pentingnya mendidik kembali agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Kelemahan pendekatan ini adalah adanya kenyataan bahwa petugas dipandang oleh anak sebagai musuh ketimbang mitra, juga fakta kekerasan dan pelecehan seksual tetap berkembang. Sedangkan keunggulan pendekatan ini munculnya efek jera untuk hidup dijalanan karena ada tindakan korektif dari aparat yang berwenang.

b. Pendekatan rehabilitasi (rehabilitatif)

Para profesional memperdebatkan bahwa anak jalanan bukanlah perilaku menyimpang karena banyak dari mereka justru merupakan korban penganiayaan dan penelantaran, dampak kemiskinan, dan kondisi rumah yang tidak tetap. Anak jalanan dilihat sebagai anak yang dirugikan oleh lingkungan sehingga mengakibatkan banyak program-program untuk mereka muncul. Pendekatan rehabilitatif memandang anak jalanan sebagai anak yang berada dalam kondisi ketidakmampuan, membutuhkan, diterlentarkan, dirugikan, sehingga intervensi yang dilakukan adalah dengan melindungi dan merehabilitasi. Pada saat ini kegiatan dari pendekatan rehabilitatif ini lebih dikenal dengan centre based program.

c. Pendidikan yang dilakukan di jalan (street education)

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa cara terbaik menanggulangi masalah anak jalanan adalah dengan mendidik dan memberdayakan anak. Para pendidik jalanan yakin kesenjangan struktur sosial merupakan penyebab dari masalah ini. Menurut mereka anak merupakan individu normal yang didorong oleh kesenjangan kondisi masyarakat yang hidup dibawah keadaan yang sulit. Dengan melibatkan partisipasi anak, maka dapat dipelajari tentang situasi mereka dan mengikutsertakan dalam aksi bersama. Bentuk kegiatan dari pandangan pendidikan jalanan pada saat ini lebih dikenal dengan nama program yang berpusat di jalanan atau street based program.

d. Pencegahan (preventif)

Pendekatan ini memandang penyebab dari masalah anak jalanan adalah dorongan dari masyarakat itu sendiri. Strategi pencegahan berusaha memberikan pendidikan dan pembelaan serta mencoba menemukan penyelesaian dari apa yang diperkirakan menjadi penyebab permasalahan, yaitu dengan cara berusaha menghentikan kemunculan anak jalanan. Mengatasi masalah anak jalanan, bukan hanya anak di jalanan yang dijadikan fokus untuk dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat, mengingat masyarakat sendiri terus mengalami perubahan sesuai dengan pembangunan yang berlangsung. Bentuk kegiatan dari pandangan preventif dikenal dengan community based program.

Pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam menangani masalah anak jalanan, tergantung pada kondisi anak. Bila pendekatan atau strategi diatas dihubungkan dengan tipologi anak jalanan, dapat dilihat dalam matrik berikut ini:

Matrik Tipologi Anak Jalanan

Dihubungkan dengan Pendekatan dan Fungsi Penanganan (intervensi)

KATEGORI ANAK

MODEL INTERVENSI

FUNGSI INTERVENSI

Children on the street

(anak yang bekerja di jalanan untuk membantu keluarga)

Street based

Street education

Children of the street

(anak yang hidup di jalanan)

Center based

Rehabilitatif Corectional

Children at high risk

(anak yang mempunyai resiko tinggi menjadi anak jalanan)

Community based

Preventif

Sumber :Lusk dalam Haryanto (2007)

Seringkali model intervensi dan penanganan terhadap anak jalanan dihubungkan dengan tipologi anak jalanan seperti dalam matrik tersebut diatas. Model intervensi dan penanganan terhadap anak jalanan tersebut diatas seringkali hanya difokuskan pada anak jalanan saja, tidak menyentuh faktor lainnya yang menjadi efek dari timbulnya anak turun ke jalanan, seperti kemiskinan, kondisi orang tua, dan lingkungan tempat tinggal. Baik Street Based Maupun Center Based yang menjadi obyek intervensi hanya anak jalanan saja, sementara faktor lainnya yang menjadi efek tidak disentuh. Berbeda dengan Model Community Bassed, obyek intervensinya bukan hanya anak jalanan saja, tapi juga orang tua dan lingkungan tempat tinggalnnya. Diharapkan melalui model ini bukan hanya mengembalikan anak jalanan pada keluarganya, tetapi juga mencegah kemungkinan timbulnya anak jalanan baru dari keluarga maupun lingkungan tersebut Kelebihan lain dari Model Community Based adalah model ini dapat diterapkan pada semua jenis tipologi anak jalanan.

D. PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN MELALUI MODEL COMMUNITY BASED

Model Penanganan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat (Community based ) adalah salah satu model penanganan anak jalanan yang menerapkan strategi pengembalian anak kepada keluarganya dan mencegah anak-anak menjadi anak jalanan. Anak yang menjadi sasaran adalah anak yang masih berhubungan atau tinggal dengan keluarga. Basis penanganan diarahkan pada penguatan fungsi keluarga, peningkatan pendapatan, dan pendayagunaan potensi masyarakat. Anak-anak memperoleh pendidikan formal maupun non formal, memenuhi kebutuhan dasar, pengisian waktu luang dan lain-lain. Tujuan model ini adalah meningkatkan kemampuan keluarga dan anggota masyarakat dalam melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anak.

Model ini sebagai koreksi terhadap model-model sebelumnya yang cenderung menitik beratkan pada pemberdayaan langsung terhadap anak jalanan. Keberadaan keluarga atau orang tua sebagai penyebab anak turun ke jalan, relatif kurang tersentuh pelayanan.

Childhope Asia dalam Haryanto (2007), mengemukakan pengertian model community based sebagai pendekatan pencegahan. Pendekatan ini merupakan suatu alternatif untuk melembagakan anak jalanan. Hal itu merupakan suatu usaha yang menunjukkan bahwa permasalahan anak dimulai dari keluarga dan masyarakat. Proses pendekatan berbasis masyarakat adalah ditujukan pada keluarga anak jalanan, anak miskin perkotaan dan masyarakat untuk meyakinkan mereka membuat perubahan terhadap diri mereka sendiri agar tidak memanfaatkan anak mereka untuk mencari nafkah di jalan. Komponen-komponen pendekatan berbasis masyarakat antara lain : advokasi, pengorganisasian masyarakat, peningkatan pendapatan, bantuan pendidikan yang meliputi : klarifikasi nilai dan pelatihan ketrampilan

Proses penanganan anak jalanan dengan pendekatan community based dapat kita lihat dalam gambar sebagai berikut :

Model Penanganan Anak Jalanan dengan Community Based

Sumber : Haryanto (2007)

Dari gambar tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa Model Community Based merupakan model yang dapat digunakan sebagai model intervensi dan penanganan terhadap semua jenis tipologi anak jalanan, yaitu Children On The Street, Children Of the Stret dan Children At High Risk. Hal ini tidak dijumpai dalam Model Street Based maupun Center Based. Demikian juga dengan target intervensi, dalam model ini target intervensi bukan hanya anak jalanan saja, tetapi juga orang tua, keluarga dan masyarakat. Sehingga “anak tidak lagi dijalanan dan kembali keluarga” itu bukan menjadi output dari model ini tetapi hanya dampak (impact) dari keberhasilan program ini. Sementara output dari model ini adalah keberfungsian sosial keluarga anak jalanan. Dengan berdayanya fungsi keluarga anak jalanan, bukan hanya mengembalikan anak jalanan ke keluarga, tapi juga mencegah timbulnya anak jalanan baru dari keluarga dan lingkungan tersebut.

Keberhasilan model ini tidak lepas dari penetapan tujuan, sasaran, prinsip-prinsip pelaksanaan, program aksi dan keberadaan pendampingan oleh pekerja sosial. Tujuan penanganan dengan model ini adalah Pertama, untuk membangkitkan kesadaran orang tua dan anak-anak mengenai hak-hak anak, serta membangkitkan perasaan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu untuk merubah kehidupannya. Kedua, membantu mereka dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mereka serta mengorganisir penduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketiga, mengembangkan kapabilitas orang tua dan anak-anak untuk memahami dan bertindak berdasarkan kemampuan mereka dalam menggunakan sumber-sumber internal maupun eksternal guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan individual, keluarga dan masyarakat serta untuk mengatasi masalah-masalah mereka.

Sasaran dari model community based adalah: Pertama, terwujudnya keluarga dan masyarakat yang mampu mengurus dirinya sendiri dan mampu memecahkan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sendiri serta tidak tergantung pihak lain. Kedua, terciptanya keberfungsian sosial kehidupan anak dengan keluarga dan masyarakat secara harmonis. Ketiga, terwujudnya dan terbinanya kepedulian serta peran aktif keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak-anak mereka agar tidak turun ke jalanan.

Prinsip pelayanan adalah partisipatif, sustainable, pemberdayaan, multiefek, dan kontrol sosial. Partisipatif yaitu menekankan pada kebersamaan atau saling memberikan sumbangan akan kepentingan dan masalah-masalah bersama yang tumbuh dari kepentingan dan perhatian individu keluarga anak jalanan itu sendiri. Partisipasi adalah hasil dari kesepakatan warga masyarakat akan perubahan sosial yang mereka harapkan. Sutainable, yaitu dalam proses pengembangan keluarga dan masyarakat harus berkelanjutan. Program yang dilaksanakan harus berkaitan satu dengan program selanjutnya dan tidak hanya berorientasi pada tuntutan proyek. Pemberdayaan (empowerment) yaitu peningkatan kemampuan keluarga untuk memelihara kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan anak. Dalam hal ini keluarga anak jalanan tidak tergantung selamanya pada pekerja sosial pendamping. Multiefek, yaitu intervensi yang dilakukan terhadap keluarga anak jalanan tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada lingkungan sekitarnya terutama pada anak mereka. Kontrol sosial yaitu segala tindakan pencegahan dan pengawasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat terhadap tindak kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi maupun penelantaran anak yang terjadi pada keluarganya.

Bagian yang harus mendapatkan perhatian serius adalah perumusan program atau kegiatan dalam model community based. Prinsip dasar dalam perumusan program atau kegiatan yang akan dilaksanakan, program tersebut haruslah dapat memberi penambahan pendapatan keluarga (income generating) dan pembentukan keluarga yang baik (good parenting).

Income generating yaitu bantuan sosial bagi keluarga atau orang tua anak jalanan dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Dengan meningkatnya pendapatan keluarga diharapkan dapat memenuhi hak-hak anaknya. Jenis pelayanan yang diberikan antara lain: pemberian bantuan modal usaha ekonomi produktif berupa pinjaman uang untuk berdagang, bimbingan motifasi berwira usaha, pembentukan kelompok swadaya masyarakat dan pelatihan manajemen kelompok.

Sedangkan good parenting adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi keluarga bermasalah atau rawan masalah sehingga secara bertahap mampu mendaya gunakan berbagai sumber yang tersedia baik didalam maupun diluar keluarga guna pemecahan permasalahan atau kerawanan yang dialami. Jenis pelayanan yang diberikan antara lain: pemberian informasi tentang kesejahteraan keluarga, mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, membantu merujuk kepada pelayanan terkait yang dibutuhkan, penyuluhan dan bimbingan tentang hak anak sehingga keluarga tersebut tersentuh untuk berusaha memenuhinya.

Keberhasilan program dalam model community based tidak terlepas juga dari peranan pekerja sosial. Seseorang pekerja sosial yang bekerja di masyarakat kita sebut dengan pendamping masyarakat (community worker). Seorang community worker harus memiliki sikap yang ditampilkan pribadi, baik bersumber dari kompetensi profesional maupun secara fundamental melekat pada kualitas pribadinya. Kualitas pribadi tersebut disamping diperoleh melalui proses pelatihan, terlebih utama diperoleh dari pengalaman praktek di masyarakat. Kesadaran untuk membangun dan meningkatkan kualitas pribadi secara terus menerus perlu dikembangkan dalam rangka tanggung jawab profesionalnya. Peran seorang pekerja sosial menurut Zastrow dalam Haryanto (2007) antara lain : Pemercepat perubahan (Enabler), Perantara (Broker), Pendidik (Educator), Tenaga Ahli (Ekspert), Perencana Sosial (Social Planner), Advokat (Advocate) dan Aktifis (Activist).

Peran pekerja sosial sebagai enabler yaitu membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah mereka, dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peranan sebagai enabler ini adalah peran klasik dari seorang community worker. Dasar filosofis dari peran ini adalah “help people to help them selves”.

Peran sebagai broker (perantara) yaitu terkait erat dengan upaya menghubungkan individu atau kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services), tetapi tidak tahu dimana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut, dengan lembaga yang menyediakan layanan masyarakat. Peran sebagai perantara merupakan peran mediasi dalam konteks pengembangan masyarakat. Juga diikuti dengan perlunya melibatkan klien dalam kegiatan penghubung ini untuk terbentuknya kemandirian klien.

Peran sebagai pendidik, community worker diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan jelas, serta mudah ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran perubahan. Disamping itu ia harus mempunyai pengetahuan yang cukup memadai mengenai topik yang akan dibicarakan. Dalam kaitan dengan hal ini, seorang community worker tidak jarang harus menghubungi rekan dari profesi lain yang menguasai materi tersebut.

Sebagai tenaga ahli (ekspert), community worker diharapkan untuk memberikan masukan, saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli diharapkan dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa dikembangkan dalam suaatu organisasi nirlaba yang menangani lingkungan, kelompok-kelompok mana saja yang harus terwakili, atau memberikan masukan mengenai isu yang pantas dikembangkan dalam suatu komunitas (termasuk organisasi).

Sebagai Perencana Sosial (Social Planer) yaitu mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang terdapat dalam komunitas, menganalisisnya dan menyajikan alternatif tindakan rasional untuk menangani masalah. Setelah itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba alternatif sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai kepentingan. Jadi perencanaan sosial lebih memfokuskan pada tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan program.

Sebagai advokat dalam community work dicangkok dari profesi hukum. Peran advokat pada satu sisi berpijak pada tradisi pembaharuan sosial, dan pada sisi lain berpijak pada tradisi pelayanan sosial. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah dimana community worker menjalankan fungsi advokasi. Seseorang community worker tidak jarang harus melakukan persuasi terhadap kelompok profesional ataupun kelompok elit tertentu, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Sebagai activist, seorang community worker mencoba melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar, dan seringkali tujuannya adalah mengalihkan sumberdaya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan (disadvanted group). Seorang aktifis biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidak sesuaian dengan hukum yang berlaku (injustice), kesenjangan (inequity) dan perampasan hak. Seorang aktifis biasanya mencoba menstimulasi kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada (yang menjadi penekanan mereka). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dan negoisasi.

Hal yang paling penting dari semua konsep tersebut diatas adalah implementasi (aplikasi) model ini dalam menangani sasaran. Ada beberapa yang harus diperhatikan dalam tahapan implementasi yaitu ; (1) Asessment dan identifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan) dan juga sumber daya yang dimiliki secara tepat; (2) Perencanaan alternatif, secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana caya mengatasinya; (3) Pemformulasian rencana aksi, yaitu membantu masing-masing kelompok masyarakat untuk memformulasikan gagasan mereka dalam bentuk tertulis, terutama bila ada kaitannya dengan pembuatan proposal kepada pihak penyandang dana; (4) Pelaksanaan program atau kegiatan, tahap ini merupakan salah satu tahap yang paling krusial (penting) dalam proses pengembangan masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerjasama antara petugas dan warga masyarakat, maupun kerjasama antar warga; (5) Evaluasi, sebagai suatu proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga ;dan (7) Terminasi, merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan komunitas sasaran. Tahapan tersebut merupakan siklus guna mencapai perubahan yang lebih baik terutama setelah dilakukan monitoring pelaksanaan kegiatan. Meskipun demikian, siklus dapat berbalik di beberapa tahapan yang lain.

Dalam semua tahapan implementasi (aplikasi) model ini pekerja sosial harus mampu memposisikan target intervensi (anak jalanan, orang tua, keluarga dan masyarakat) sebagai subyek yang berperan aktif dalam semua tahapan untuk memberdayakan dirinya sendiri. Tumbuhnya peran aktif target intervensi dalam semua tahapan implementasi, akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan keberdayaan target intervensi dalam menjalankan program secara berkelanjutan sebelum memasuki tahap terminasi (pemutusan) hubungan formal target intervensi dengan pendampingan oleh pekerja sosial.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Anak adalah orang tua masa depan. Siapapun yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak. Menyiapkan Indonesia ke depan, tidak hanya berbicara soal income perkapita, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, ataupun indikator makro lainnya. Sesuatu yang mendasar adalah sejauh mana kondisi anak di siapkan oleh keluarga, masyarakat dan negara.

Berbagai persoalan anak yang muncul saat ini, khususnya maraknya anak jalanan diberbagai kota besar harus mendapatkan penanganan yang tepat. Model Penanganan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat (Community based ) adalah salah satu model penanganan anak jalanan yang menerapkan strategi pengembalian anak kepada keluarganya dan mencegah anak-anak menjadi anak jalanan.

Anak yang menjadi sasaran dalam model ini adalah anak yang masih berhubungan atau tinggal dengan keluarga. Basis penanganan diarahkan pada penguatan fungsi keluarga, peningkatan pendapatan, dan pendayagunaan potensi masyarakat. Anak-anak memperoleh pendidikan formal maupun non formal, memenuhi kebutuhan dasar, pengisian waktu luang dan lain-lain. Tujuan model ini adalah meningkatkan kemampuan keluarga dan anggota masyarakat dalam melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anak.

Pendekatan ini merupakan suatu alternatif untuk melembagakan anak jalanan. Hal itu merupakan suatu usaha yang menunjukkan bahwa permasalahan anak dimulai dari keluarga dan masyarakat. Proses pendekatan berbasis masyarakat adalah ditujukan pada keluarga anak jalanan, anak miskin perkotaan dan masyarakat untuk meyakinkan mereka membuat perubahan terhadap diri mereka sendiri agar tidak memanfaatkan anak mereka untuk mencari nafkah di jalan. Komponen-komponen pendekatan berbasis masyarakat antara lain : advokasi, pengorganisasian masyarakat, peningkatan pendapatan, bantuan pendidikan yang meliputi : klarifikasi nilai dan pelatihan ketrampilan

Community based juga digunakan untuk menggali dan menumbuhkan partisipasi keluarga dan masyarakat setempat dalam menemukan kebutuhan-kebutuhannya, merencanakan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan, berpartisipasi aktif dalam melaksanakan kegiatan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan. Proses ini dilaksanakan dengan cara mengembangkan sikap-sikap kooperatif dan kolaboratif antar warga masyarakat. Proses community based yang harus dilalui oleh seorang pekerja sosial bukanlah proses alamiah, akan tetapi merupakan proses sosial yaitu serangkaian aktifitas yang terencana untuk memfasilitasi dan mengembangkan kapasitas individu kelompok dan masyarakat guna merespon masalah-masalah yang dipandang dalam kerangka kerja dari tujuan-tujuan dan nilai-nilai spesifik.

Model ini sebagai koreksi terhadap model-model sebelumnya yang cenderung menitik beratkan pada pemberdayaan langsung terhadap anak jalanan. Keberadaan keluarga atau orang tua sebagai penyebab anak turun ke jalan, relatif kurang tersentuh pelayanan. Dengan model ini orang tua, keluarga dan lingkungan masyarakat yang menjadi penyebab anak turun ke jalanan menjadi sasaran pemberdayaan.

Keberhasilan program dalam model community based tidak terlepas dari peranan pekerja sosial (community worker). Seorang community worker harus memiliki sikap yang ditampilkan pribadi, baik bersumber dari kompetensi profesional maupun secara fundamental melekat pada kualitas pribadinya. Kualitas pribadi tersebut disamping diperoleh melalui proses pelatihan, terlebih utama diperoleh dari pengalaman praktek di masyarakat. Kesadaran untuk membangun dan meningkatkan kualitas pribadi secara terus menerus perlu dikembangkan dalam rangka tanggung jawab profesionalnya.

B. SARAN

Pertama, Pekerja sosial kadang-kadang terjebak pada kegiatan mikro kredit yang seolah-olah sebagai suatu tujuan. Pekerja sosial harus menyadari bahwa intervensi melalui mikro kredit hanyalah sebagai alat saja, sedangkan tujuan utamanya adalah kesejahteraan anak atau terpenuhinya hak anak.

Kedua, Permasalahan yang dialami keluarga anak jalanan bukan hanya masalah ekonomi saja, tetapi juga masalah nilai-nilai yang diterapkan keluarga terhadap anaknya. Untuk itu selain program income generating, perlu diimbangi dengan program good parenting. Sehingga perlu adanya komitmen orang tua anak jalanan untuk melaksanakan program tersebut.

Ketiga, Pelaksanaan program sering berbenturan dengan pihak-pihak tertentu, misalnya pemerintah setempat, ada LSM yang merasa tersaingi maupun renternir yang kehilangan lahan. Untuk mengatasi masalah tersebut, libatkan stakeholder dan shareholder disekitar komunitas anak jalanan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

_____________. 2001, Survey Fenomena Anak Jalanan di DKI Jakarta Triwulan IV (Oktober-Desember 2001), Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (UPPM-STIS), Jakarta.

Haryanto S, Hari. 2007, Mencegah Menjadi Anak Jalanan dan Mengembalikannya Kepada Keluarga Melalui Model Community Based, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Departemen Sosial RI.

Haryanto S, Hari. 2007, Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Program Score Dalam Mencegah Penyebaran HIV/AIDS, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Departemen Sosial RI.

Kurniasari, Alit. 2006, Pengembangan Komunitas Peduli Anak, Puslitbang Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Departemen Sosial RI.

Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-undang No. 23 Tahun 2005, Tentang Perlindungan Anak.